Entri Populer

Minggu, 12 Februari 2012

DE-JAVU

Senandungku
Tentang cerita kelak
Kau dan aku
Membuatku bermimpi indah
Melayangkan harapan
Pada langit khayalan…

Bersama angin
Engkau membenamkan hujan
Dalam gelisah langit malam
Ketika bintang tak berpendar

Selayaknya angan
Kumeminta…
Atas nama cinta
Yang membisik perlahan
Di relung pelangi

Jadikan nyata
Semua semburat jingga
Di langit senja…
Biar lembayungnya
Menaungi sisa malam
Menemani, kau dan aku… 

Sinar rembulan
mengintip remang, tenggelam dalam
citraan kelam,
seulas ekspresi yang beku
dan sulit untuk dimaknai.
Rembulan , pelita malam
terhempas dalam elegi sepasang tupai malam
menanggung kasmaran.
riuh dan berderai suara-suara saling memburu
berkejaran dalam penyataan cinta atau hasrat untuk birahi.
Dalam temaram bulan setengah bentuk,
membujur meliuk bak sebuah sabit
terbujur pada mega-mega kelam dan langit hitam
sedikit bintang.
Aku ingin membunuh bayang-bayang
sehingga hadir dan menyatakan diri sendiri
di tengah bentang kesepian tanpa
menduakan sosok yang sudah terkoyak
pengkhianatan dan peniadaan pada yang tulus.
Ingin kubunuh bayangku
bersama kegamangan malam yang berserakkan,
tepian cahaya kurobek
kemudian kubuatkan coretan besar
menyerupai sebuah pintu
agar sosok ku terdiri satu
tanpa penduaan, berdiri tegak
tanpa bayang.
Sejenak, masih hening
malam beranjak merayap
dalam kilas cahaya rembulan suram
kulihat malam berkedip jerih
enggan memalingkan muka.
Mungkin karena malam ini
telah kubunuh bayang-bayang
sehingga dia tidak lagi bisa bertahta
dengan sosok nya yang gelap.

ketika langit rubuh dalam subuh-Mu yang angkuh, di tengah padang ilalang tumbuh aku lumpuh telimpuh menyaksikan luka di dada berbidang dengan menutup sebelah mata jalang bisik bayang-bayang rompang di kumparan hati yang berdebu, juga bara api yang mengabu dari alif, lam, mim, kueja. sampai huruf-Mu  tiada. tak menyisakan dendam amarah tidak pula percik cahaya berpendar bagai purnama
Tuhan, bila awan di wajahku pekatnya telah sempurna angin datang dan pergi membawa badai matahari, dan bisik bayang-bayang masih membatu dalam diri, alamat rumah-Mu kutempuh sampai hari telah luluh, menjadi keping-keping asap yang terbang ke langit dalam urai tangis seribu doa, kutenggelamkan segala kepala pada percik airmata   karena bisik bebayang semakin panjang menceritakan balada kesangsian antara desah napas yang semakin hilang arah rantaunya, jalanku semakin buram warnanya maka, atas nama semilir air yang ingin kuterjemahkan pada bahasa rindu lewat tafsir kelengkapan abad yang buta, mengalir dalam hilir air dengarkanlah tembang sepiku yang lugu, bila berirama kabulkanlah segala rasa karena antara detak dan detik, selalu datang bebayang dengan tombak paling tajam dengan wajah lepas pandang dan kelengkapan raga bau kandang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar