Entri Populer

Senin, 28 Januari 2013

luruskan Niat Haji


Labbaik... Allahumma labbaik... Innalhamda wa ni’mata Laka walmulk. Laa syarika Laka.


UNDANGAN acara resmi biasanya mencantumkan jenis pakaian yang harus dikenakan, pakaian sipil, batik, dinas lengkap, dan sebagainya. Pencantuman pakaian tersebut agar tamu tadi dapat menyesuaikan diri dengan hajat yang digelar tuan rumah. Semakin tinggi derajat tuan rumah, lazimnya semakin ketat pula aturan main dalam berpakaian tersebut.

Menunaikan ibadah haji merupakan puncak tertinggi dari tingkatan orang bertamu. Tak tanggung-tanggung, berhaji berarti manusia atau makhluk bertamu kepada Allah, Sang Khalik, Yang Maha Pencipta. Itulah sebabnya, berhaji disebut juga sebagai dhuyufur rahman, tamunya Zat Yang Maha Pemurah.

Bertamu kepada Allah ada dua cara. Pertama, dengan cara berhaji dan mengunjungi Rumah Allah, Baitullah, Kabah Al-Musyarafah. Kedua, dengan mati. Cara pertama memungkinkan kita kembali ke rumah kita, kembali berkumpul dengan sanak dan keluarga. Cara kedua, tak memungkinkan kita kembali bertemu keluarga, kecuali satu iman di akhirat.

Pakaian yang dikenakan saat menjadi tamu Allah, baik cara pertama ataupun kedua, sama saja. Mengenakan pakaian putih tanpa jahitan, kecuali Muslimah yang mengenakan pakaian berjahit saat berhaji. Saat berhaji, kita mengenakan sendiri pakaian itu. Namun saat mati, orang lain yang memakaikan, supaya tidak melorot diikat pakai tali kain kafan.

Tidak semua orang mau dan mampu berhaji. Banyak umat Muslim yang secara finansial mampu, namun tidak mau menjadi tamu Allah. Sebaliknya, banyak orang Islam yang sangat merindukan menjadi dhuyufur rahman, tapi rezeki tidak memungkinkan untuk berangkat ke tanah haram. Itulah sebabnya, berhaji hukumnya wajib sebagaimana syahadat, salat, puasa, dan zakat, tapi hanya untuk Muslim yang mampu menempuhnya (Man istatha’a ilaihi sabila).

Karena berhaji berarti menjadi tamu Allah, pantaskah kita menghadap-Nya hanya untuk mendapatkan titel ”haji” atau ”hajjah”, sehingga di depan nama kita dicantumkan huruf ”H” atau ”Hj”? Alangkah rendahnya nafsu manusia yang menghadap-Nya hanya untuk ingin berbangga-bangga di hadapan sesama makhluk-Nya.

Bagaimana kalau kita ke Mekah, Arafah, Muzdalifah, Madinah, dan Jeddah dilakukan seperti kita pergi ke Amerika, Eropa, Australia? Silakan. Jika itu yang diinginkan, maka kita tak lebih dari seorang turis, sekadar melancong. Saat di tanah suci pun kita sekadar ”tawaf” mengelilingi Pasar Seng, berbelanja di mal-mal di seputar Masjidilharam dan menyaksikan jutaan manusia yang tumpah ruah.Kita akan menyaksikan keramaian yang tidak ada taranya di dunia mana pun. Manusia sedemikian massal, kalau dibariskan tidak cukup puluhan kilometer, tapi ratusan kilometer, bahkan ribuan kilometer.

Tetapi dengan menjadi ”haji turis”, kita tidak mendapatkan nilai tertinggi dari indahnya dijamu Allah. Secara fisik kita berada di Mekah dan Masya’iril Muqaddasas (Arafah, Muzdalifah dan Mina), akan tetapi hati kita tidak pernah menjadi tamu Allah yang sebenarnya. Kita hanya menjadi penonton.

Sebagian jemaah ada yang berangkat haji dengan niat untuk berbisnis. Maka tidak sedikit jemaah yang saat berangkat ke tanah suci mengisi koper-kopernya dengan berpak-pak rokok. Karena rokok di Arab Saudi jauh lebih mahal, maka ia dapat memetik keuntungan, bahkan bisa jadi biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) yang dibayarkan dapat kembali. Bahkan, jemaah asal Martapura, Kalimantan Barat sempat ketahuan membawa tiga koper batu mulia, sehingga ia mendapat keuntungan berlipat-lipat dibandingkan dengan BPIH yang dibayarkan.

Jemaah yang berbisnis seperti itu mungkin berhasil. Tetapi mungkin juga gagal, bahkan dapat mengalami kerugian jika barang-barangnya kemudian ditahan petugas di bandara di tanah air maupun di Arab Saudi. Tapi kalaupun berhasil, keuntungan finansial itu saja yang ia dapatkan. Sedangkan nilai tertinggi ibadah haji bisa hilang.

Bayangkan jika kita dipanggil presiden ke Istana Negara bersama suatu rombongan. Di istana, kita menawarkan barang atau menjadi member dari suatu multi level marketing (MLM) kepada sesama rombongan atau kepada pegawai istana. Jika kita melakukan demikian, mungkin kita ditangkap pasukan pengaman presiden (Paspampres), setidaknya perbuatan kita tidak etis.

Menjadi tamu presiden saja kita harus bertindak santun, apalagi menjadi tamu Allah Yang Mahabesar dan Mahatahu. Bagaimana pertanggungjawaban kita di hadapan-Nya? Pantaskah kita datang ke tanah haram sekadar untuk jalan-jalan, shopping, menambah huruf ”H” atau ”Hj” di depan nama?

Menyadari tingginya makna haji sebagai tamu Allah, semua itu hanya masalah yang sangat kecil, lebih kecil dari debu yang beterbangan di udara. Saat menghadap dan menjadi tamu Allah sangatlah pantas kita menundukkan kepala, khidmat, malu akan semua kelakukan kita yang sering berbuat nista, dan pasrah atas semua yang akan terjadi. Naif sekali kalau kita bersikap congkak dan sombong di hadapan Zat Yang Mahabesar dan Zat Yang Mampu Melakukan Segalanya. Inna Allaha ‘ala kulli syaiink qadir.

Maka sebelum masuk ke asrama haji, sebelum pesawat menerbangkan kita ke Jeddah atau langsung ke Madinah, luruskan kembali niat kita berhaji. Jangan pernah sesekali berniat selain hanya mendapat rida Allah SWT. Menghadaplah kepada Zat Yang Mahamulia dengan niat yang mulia dan dengan cara-cara terhormat pula.

Labbaik... Allahumma Labbaik...! Berserulah terus kalimat-kalimat seperti itu. Itu artinya kita mengatakan, ”ya” saat dipanggil bos kita, atau mengatakan ”kulan...!” bagi laki-laki, dan ”kah...!” bagi perempuan. Saat berangkat haji, kita terus mengumandangan ”Labbaik” berpuluh-puluh kali, beratus-ratus kali, beribu-ribu kali, bahkan ratusan ribu kali. Kita pasrahkan diri kita, semua prestasi kita dan tumpukan dosa serta kesalahan kita.

Rasulullah, Muhammad saw merumuskan bahwa haji yang dilakukan dengan penuh kepasrahan, dilakukan dengan meninggalkan perbuatan buruk dan mengganti dengan perilaku mulia disebut dengan haji mabrur. Kaum Muslimin yang berhaji dengan cara seperti itu oleh Allah akan dijanjikan surga.

Mabrur sendiri berasal dari kata birrun atau barra yang artinya berbuat baik. Maka, seseorang disebut berhaji mabrur jika selama menunaikan ibadah haji dan sesudahnya, menanggalkan semua perilaku buruk dan mengubahnya dengan perilaku baik. Dalam pengertian yang lain, mabrur diartikan juga dengan juud, bermurah hati. Maka orang yang hajinya mabrur selalu ditandai dengan sifat dan sikapnya yang murah hati, senang menolong orang fakir dan miskin, serta membantu sesama.

Bukanlah disebut mabrur jika sekembalinya dari menunaikan ibadah haji malah menjadi sombong, merasa paling dekat dengan Allah, , semakin pedit,, durhaka terhadap orang tua, meremehkan teman, dan sebagainya.(Wakhudin/”PR”)


حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ وَرْدَانَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ { وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا } قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفِي كُلِّ عَامٍ فَسَكَتَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي كُلِّ عَامٍ قَالَ لَا وَلَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ } قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَلِيٍّ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَاسْمُ أَبِي البَخْتَرِيِّ سَعِيدُ بْنُ أَبِي عِمْرَانَ وَهُوَ سَعِيدُ بْنُ فَيْرُوزَ

Tidak, jika aku katakan ya, maka hukumnya menjadi wajib. Lantas Allah menurunkan ayat Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian bertanya/meminta akan banyak hal, karena jika diungkap/diwajibkan akan menyusahkan kalian. Hadits semakna diriwayatkan dari Ibnu Abbas & Abu Hurairah. Abu 'Isa berkata; Hadits Ali merupakan hadits hasan gharib melalui jalur ini. Abul Al Bahtari bernama Sa'id bin Abu 'Imran yaitu Sa'id bin Fairuz.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar