Mengenal Gus Yusuf
K.H
Muhammad Yusuf Chudlori di tengah-tengah masyarakat lebih dikenal
dengan sebutan khas kaum pesantren, yakni Gus Yusuf. Sebutan ini
didasarkan oleh faktor kesejarahan atau latar belakang beliau yang
merupakan salah satu dari sebelas putra dan putri ulama kharismatik
Tegalrejo Magelang al-marhum al-magfurlah K.H Chudlori (w.1977), pendiri
(muasis) Ponpes Asrama Perguruan Islam Tegalrejo
Magelang yang didirikan pada tahun 1944 M. Pada tahun 2008 ini Ponpes
tersebut memiliki ± 3.500 santri putra dan ± 2.500 santri putri.
Gus
Yusuf yang lahir di Magelang pada 9 Juli 1973 ini sangat terkenal
sebagai kiai muda yang dekat dengan berbagai kalangan. Hal ini
dikarenakan selain beliau mengasuh pesantren, memberikan hikmah-hikmah
keagamaan kepada masyarakat di berbagai majlis ta’lim, juga masih
mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk perjuangan
sosial-kemasyarakatan.
Diantara
perjuangan sosial-kemasyarakatan yang digeluti oleh beliau adalah,
mengelola komunitas kesenian-kesenian tradisional yang ada di Kab.
Magelang, penasehat organisasi Komunitas Gerakan Anti Narkoba dan Zat
Adiktif (KOMGANAZ) Kab. Magelang, mengelola radio komunitas (Fast-FM)
yang menyiarkan program-program populis untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat, mulai dari kajian keagamaan, mujahadah, berita-berita
aktual, konsultasi kesehatan, bincang bisnis, infotainment, dsb.
Walaupun
Gus Yusuf berlatar belakang pendidikan pesantren tapi beliau sangat
dekat dengan para aktifis muda dan aktifis mahasiswa yang berlatar
belakang pendidikan formal (sekolahan). Kedekatan ini dapat terjalin
karena Gus Yusuf adalah kiai yang terbuka (egaliter) untuk berdiskusi
dengan kalangan aktifis muda sebagai upaya mengurai kenyataan yang
selalu berkembang seiring dengan lajunya zaman.
Aktifitas
dengan kalangan muda dan mahasiswa diantaranya dapat dilihat dari
seringnya beliau terlibat dalam forum-forum diskusi kaum muda NU Jawa
Tengah, bahkan beliau adalah salah satu penggagas dari forum-forum
diskusi di kalangan kaum muda NU tersebut. Dalam jumlah yang tidak
terhitung, beliau juga sering diminta mengisi seminar, talk show, dan
bentuk diskusi lainnya mulai dari tingkat lokal, nasional sampai tingkat
internasional, terutama dalam forum-forum diskusi yang mengangkat tema
seputar pluralisme, toleransi antar umat beragama, kebudayaan, tasawuf,
dan peneguhan nilai-nilai kebangsaan.
Latar Belakang Keilmuan
Dalam bidang keilmuan, pada usia dini sampai usia SD, Gus Yusuf menempa ilmu di pondok pesantren ayahnya. Selanjutnya
beliau menempa diri dalam ilmu agama pada beberapa pondok pesantren.
Tahun 1985-1994, Gus Yusuf nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri Jawa
Timur di bawah asuhan KH Idris Marzuki. Selanjutnhya beliau menengguk
ilmu di Pesantren Salafiyah Kedung Banteng Purwokerto, terakhir Gus
Yusuf memperdalam ilmu keagamaan di Pesantren Salafiyah Bulus, Kebumen.
Karena
latar pendidikan pesantren inilah, maka transformasi kelimuan melalui
tradisi lisan (tutur) sudah menjadi bagian dari diri suami Vina Rohmatul
Ummah (22) ini. Selain menyampaikan ilmunya di Pesantren API Tegalrejo
(asuhannya), beliau juga sering berceramah di banyak majlis ta’lim,
serta di radio Fast FM kelolaannya yang beralamat di Jl. K.H Hasyim
Asy’ary No. 7 Pagotan Tegalrejo Magelang. Jadi, dalam hal berpanjang-panjang kata lewat lisan, kepiawaiannya tak usah diragukan.
Belakangan,
Gus Yusuf yang merupakan ayah dari Ahmad Haikal Tanjani Khumaid (6),
Yusfina Zahru Tsania (4), dan Aqila Alaya Sya’an (1,5) itu begitu
antusias mengembangkan konsep tasawuf yang berdimensi sosial. Hal
tersebut paling tidak bisa dilihat dari dakwah-dakwahnya yang
disampaikan lewat siaran di radionya. Selain itu, beliau juga sangat
gandrung pada persoalan kebudayaan. Kedekatannya dengan kalangan
budayawan seperti Gus Mus, Cak Nun, Romo Kirjito, Tanto Mendut, Slamet
Gundono, dan banyak lagi yang lain merupakan bukti dari kegandrungannya
terhadap dunia kebudayaan.
Kecintaannya dengan dunia kebudayaan tersebut juga menjadi pilihan metode dakwah keagamaan beliau,
yakni berdakwah dengan pendekatan ala Sunan Kalijaga. "Orang mungkin
menganggap tasawuf itu sesuatu yang elitis dan sukar dipahami. Padahal
kalau didedah secara sederhana dan diaplikasikan dalam dimensi
kemasyarakatan, pasti akan mudah dipahami. Pola-pola dakwah Sunan
Kalijaga tidak sedikit kandungan tasawufnya. Dan itu masih relevan untuk
zaman sekarang." Tutur beliau penuh keyakinan.
Berjuang untuk Kepentingan Umat
Siklus
zaman yang sedang sampai pada upaya demokratisasi sistem kehidupan di
negeri ini, yang ditandai dengan terjadinya gerakan reformasi pada 1998,
membangkitkan ghirah Gus Yusuf untuk bersama-sama
dengan umat berjuang meningkatkan harkat hidup, merdeka, sejahtera,
berdaulat, adil dan makmur. Dalam situasi bangsa yang dilanda krisis
demikian akut sejak tahun 1997 ini, maka pilihan politik untuk
perjuangan keumatan harus segera dijatuhkan.
Berangkat
dari realitas sejarah bahwa selama kurang lebih 32 tahun negeri ini
telah dikuasai oleh rezim otoriter, sehingga rakyat kebanyakan dibungkam
hak-haknya untuk berekspresi, berpendapat, berkumpul, apalagi
mengaktualisasikan ide-idenya dalam gerakan perjuangan. NU sebagai
bagian integral dari rakyat Indonesia yang mayoritas hidup di pedesaan
dalam tradisi pesantren juga telah dimatikan peran politik keumatan dan
kebangsaannya. Maka, momentum reformasi menjadi titik awal kaum
’sarungan’ untuk bangkit kembali dengan didirikannya Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) oleh para ulama kharismatik pada 23 Juli 1998. Jejak para
ulama inilah yang telah membangkitkan semangat Gus Yusuf untuk
mengabdikan tenaga dan pikirannya dalam perjuangan politiknya melalui
Partai Kebangkitan Bangsa.
Politik bagi Gus Yusuf adalah sebagaimana makna politik dalam Islam. Dalam Islam politik disebut dengan istilah Siyasyah
(Indonesia: siasat), tapi siasat di sini adalah dalam makna positif.
Siasat dijalankan adalah dalam kerangka memenuhi kemaslahatan, bukan
kemadlaratan. Ini sesuai dengan kaidah fiqih "tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manut bil maslahah"
(kebijakan penguasa politik yang diberlakukan untuk warga Negara harus
berorientasi pada kemaslahatan atau kesejahteraan umat).
Gus
Yusuf menemukan makna perjuangan politik di atas dalam Partai
Kebangkitan Bangsa, karena PKB memiliki kriteria tentang kesejahteraan
umat (al-maslahah al-'ammah), yaitu: (1) kemaslahatn itu
bersifat esensial: kepentingan yang secara praksis-operasional mampu
mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan; (2)
maslahah itu ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan
semata-mata individu; dan (3) maslahah itu tidak bertentangan dengan
ketentuan atau dalil-dalil umum atau nash.
Selain kriteria kesejahteraan umat di atas, yang menjadikan Gus Yusuf ’se-hati’ dengan cita-cita politik PKB adalah kandungan mabda’ siyasy
(prinsip-prinsip dasar politik) PKB, yakni menjamin hak-hak dasar
rakyat yang harus dipenuhi oleh kebijakan pemerintah. Hak-hak dasar
tersebut adalah: (1) kebebasan beragama atau mempertahankan keyakinan (hifz ad-din), sebagaimana dijamin dalam UUD 45; (2) keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan di luar ketentuan hukum (hifz an-nafs); (3) keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau keluarga (hifz an-nasl); (4) keamanan harta benda atau hak milik pribadi (hifz al-mal); dan (5) kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifz al-'aql).
Mengembalikan Kedekatan PKB dengan Basis
Prinsip-prinsip
perjuangan di ataslah yang menjadikan Gus Yusuf sampai hari ini masih
mencurahkan tenaga dan gagasan-gagasannya di partai yang dilahirkan oleh
Ormas Islam terbesar (NU) ini. Kiprahnya di dunia politik semata-mata
dimaknai sebagai manifestasi diri sebagai insan yang mempunyai tanggung
jawab untuk menjaga dan memperjuangkan keharmonisan dan keadilan dalam
menata hidup secara kolektif. Beliau tidak pernah sama sekali
berkeinginan untuk menjadi anggota legislatif atau bahkan kepala daerah.
"Untuk
hidup keluarga saya, alhamdulillah saya masih cukup secara ekonomis.
Saya masih punya sawah yang bisa digarap, sedikit-sedikit saya juga
sudah mulai berwira usaha. Hal ini saya lakukan agar saya tidak mudah
tergiur oleh ’kue-kue’ politik dan pragmatisme sesaat." Tutur Gus Yusuf.
Keteguhan
komitmen beliau inilah yang memunculkan kepercayaan dari warga PKB
sehingga pada tahun 1999–2007 beliau dipercaya memimpin DPC PKB Kab.
Magelang. Setelah berkhidmat di DPC PKB Kab. Magelang selanjutnya Gus
Yusuf ditunjuk oleh DPP PKB melalui keputusan rapat pleno DPP PKB pada 1
Mei 2007 untuk menjadi Pjs Ketua Dewan Tanfizd DPW PKB Jawa Tengah
mengggantikan posisi Abdul Kadir Karding yang ditarik sebagai pengurus
DPP PKB.
Transisi
struktural yang terjadi di PKB Jawa Tengah dengan pengangkatan Abdul
Kadir Karding sebagai pengurus DPP, menurut Gus Yusuf perlu dibarengi
dengan pembenahan kultural. Dalam sebuah kesempatan ketika dihubungi Gus
Yusuf menyampaikan “Di tubuh PKB sedang terjadi dua transisi, yakni
transisi struklural dan transisi kultural. Transisi struktural lebih
pada berjalannya roda organisasi untuk menjaga soliditas pengurus DPW
dan DPC PKB se-Jawa Tengah. Sedangkan transisi kultural adalah bagaimana
mengupayakan agar PKB lebih dekat dengan basis partai, yakni rakyat,
pesantren, dan yang tidak kalah penting adalah kiai”. Selama ini pola
hubungan antara yang struktural dengan yang kultural kurang berjalan
secara seimbang. Yang sering diutamakan lebih pada hubungan struktural.
Maka yang terjadi, kedekatan kultural sebagai pokok perjuangan partai
menjadi tersisihkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar