Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam
Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo
didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH. Chudlori yaitu seorang
ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo. Beliau adalah menantu dari KH.
Dalhar pengasuh Pondok Pesantren ”Darus Salam” Watucongol Muntilan
Magelang. KH. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada
awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren
yang lain. Baru setelah berkalai-kali beliau mendapatkan saran dan usulan
dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 di tetapkanlah nama Asrama
Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya
merupakan hasil dari sholat Istikharoh. Dengan lahirnya nama Asrama
Perguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat
mampu dan mau menjadi guruyang mengajarkan dan mengembangkan
syariat-syariat Islam.
Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam
adalah adanya semangat jihad ”I’Lai kalimatillah” yang mengkristal dalam
jiwa sang pendiri itu sendiri. Dimana kondisi masyarakat Tegalrejo pada
waktu itu masih banyak yang bergelumuran dengan perbuatan-perbuatan
syirik dan anti pati dengan tata nilai sosial yang Islami. Respon Masyarakat
35
Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam
Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan. Karena pada saat itu
masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka
melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan
ta’lim wa-taa’llum (kegiatan belajar-mengajar). Sebagai seorang ulama yang
telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, KH.
Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan
tantangn yang datang.
Berkat ketegaran dan keuletan KH. Chudlori dalam upayanya
mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir
maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan,
tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar 100-an. Prestasi ini jika di
identikan dengan prestasi para pendiri pondok pesantren dalam era kemajuan
ini, barang kali biasa-biasa saja. Akan tetapi kalau melihat situasi serta
kondisi serta sistem sosial yang berlaku pada saat itu sungguh prestasi KH.
Chudlori merupakan prestasi yang lebih.
Aksi negatif masyarakat seputar setelah tiga tahun API berdiri
semakin mereda, bahkan diantara mereka yang semula anti pati ada yang
berbalik total menjadi simpati dan ikhlas menjadi pendukung setia dengan
mengorbankan segala dana dan daya yang ada demi suksesnya perjuangan
KH. Chudhori. Akan tetapi di luar dugaan dan perhitungan pada awal tahun
1948 secara mendadak API diserbu Belanda tepat pada “Kles II”. Gedung
atau fisik API yang sudah ada pada waktu itu diporak porandakan. Sejumlah
36
kitab termasuk Kitab milik KH. Chudhori dibakar hangus, sementara santrisantri
termasuk KH.Chudhori mengungsi kesuatu desa yang bernama Tejo
kecamatan Candimulyo. Kegiatan taklim wa-taalum nyaris terhenti.
Pada penghujung tahun 1949 dimana situasi nampak aman
KH.Chudhori kembali mengadakan kegiatan taklim wa-taalum kepada
masyarakat sekitar dan santripun mulai berdatangan terutama yang telah
mendengar informasi bahwa situasi di Tegalrejo sudah normal kembali,
sehingga KH.Chudhori mulai mendirikan kembali API lagi di temapt semula.
Semenjak itulah API berkembang pesat seakan bebas dari hambatan,
sehingga mulai tahun 1977 jumlah santri sudah mencapai sekitar 1500-an.
Inilah puncak prestasi KH.Chudhori di dalam membawa API ke permukaan
umat.
Adalah merupakan suratan taqdir, dimana pada saat API sedang
berkembang pesat dan melambung ke atas, KH.Chudhori dipanggil
kerahmatullah (wafat), sehingga kegiatan taklim wataalum terpaksa diambil
alih oleh putra sulungnya (KH. Abdurrohman Ch) dibantu oleh putra
Keduanya (Bp. Achmad Muhammad Ch). Peristiwa yang mengaharukan ini
terjadi pada penghujung tahun 1977.
Sudah menjadi hal yang wajar bahwa apabila disuatu pondok
pesantren terjadi pergantian pengasuh, grafik jumlah santri menurun.
Demikina juga API pada awal periode KH. Abdurrohman Ch jumlah santri
menurun drastis, sehingga pada tahun 1980 tinggal sekitar 760-an. Akan
tetapi nampak keuletan dan kegigihan KH.Chudhori telah diwariskan kepada
37
KH. Abdurrohman Ch, sehingga jumlah santri bias kembali meningkat
sampai pada tahun 1990 menurut catatan sekretaris mencapai 2698 santri.
Disini perlu dimaklumi oleh pembaca bahwa dari awal berdirinya
hingga sekarang.
Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo
didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH. Chudlori yaitu seorang
ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo. Beliau adalah menantu dari KH.
Dalhar pengasuh Pondok Pesantren ”Darus Salam” Watucongol Muntilan
Magelang. KH. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada
awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren
yang lain. Baru setelah berkalai-kali beliau mendapatkan saran dan usulan
dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 di tetapkanlah nama Asrama
Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya
merupakan hasil dari sholat Istikharoh. Dengan lahirnya nama Asrama
Perguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat
mampu dan mau menjadi guruyang mengajarkan dan mengembangkan
syariat-syariat Islam.
Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam
adalah adanya semangat jihad ”I’Lai kalimatillah” yang mengkristal dalam
jiwa sang pendiri itu sendiri. Dimana kondisi masyarakat Tegalrejo pada
waktu itu masih banyak yang bergelumuran dengan perbuatan-perbuatan
syirik dan anti pati dengan tata nilai sosial yang Islami. Respon Masyarakat
35
Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam
Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan. Karena pada saat itu
masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka
melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan
ta’lim wa-taa’llum (kegiatan belajar-mengajar). Sebagai seorang ulama yang
telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, KH.
Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan
tantangn yang datang.
Berkat ketegaran dan keuletan KH. Chudlori dalam upayanya
mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir
maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan,
tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar 100-an. Prestasi ini jika di
identikan dengan prestasi para pendiri pondok pesantren dalam era kemajuan
ini, barang kali biasa-biasa saja. Akan tetapi kalau melihat situasi serta
kondisi serta sistem sosial yang berlaku pada saat itu sungguh prestasi KH.
Chudlori merupakan prestasi yang lebih.
Aksi negatif masyarakat seputar setelah tiga tahun API berdiri
semakin mereda, bahkan diantara mereka yang semula anti pati ada yang
berbalik total menjadi simpati dan ikhlas menjadi pendukung setia dengan
mengorbankan segala dana dan daya yang ada demi suksesnya perjuangan
KH. Chudhori. Akan tetapi di luar dugaan dan perhitungan pada awal tahun
1948 secara mendadak API diserbu Belanda tepat pada “Kles II”. Gedung
atau fisik API yang sudah ada pada waktu itu diporak porandakan. Sejumlah
36
kitab termasuk Kitab milik KH. Chudhori dibakar hangus, sementara santrisantri
termasuk KH.Chudhori mengungsi kesuatu desa yang bernama Tejo
kecamatan Candimulyo. Kegiatan taklim wa-taalum nyaris terhenti.
Pada penghujung tahun 1949 dimana situasi nampak aman
KH.Chudhori kembali mengadakan kegiatan taklim wa-taalum kepada
masyarakat sekitar dan santripun mulai berdatangan terutama yang telah
mendengar informasi bahwa situasi di Tegalrejo sudah normal kembali,
sehingga KH.Chudhori mulai mendirikan kembali API lagi di temapt semula.
Semenjak itulah API berkembang pesat seakan bebas dari hambatan,
sehingga mulai tahun 1977 jumlah santri sudah mencapai sekitar 1500-an.
Inilah puncak prestasi KH.Chudhori di dalam membawa API ke permukaan
umat.
Adalah merupakan suratan taqdir, dimana pada saat API sedang
berkembang pesat dan melambung ke atas, KH.Chudhori dipanggil
kerahmatullah (wafat), sehingga kegiatan taklim wataalum terpaksa diambil
alih oleh putra sulungnya (KH. Abdurrohman Ch) dibantu oleh putra
Keduanya (Bp. Achmad Muhammad Ch). Peristiwa yang mengaharukan ini
terjadi pada penghujung tahun 1977.
Sudah menjadi hal yang wajar bahwa apabila disuatu pondok
pesantren terjadi pergantian pengasuh, grafik jumlah santri menurun.
Demikina juga API pada awal periode KH. Abdurrohman Ch jumlah santri
menurun drastis, sehingga pada tahun 1980 tinggal sekitar 760-an. Akan
tetapi nampak keuletan dan kegigihan KH.Chudhori telah diwariskan kepada
37
KH. Abdurrohman Ch, sehingga jumlah santri bias kembali meningkat
sampai pada tahun 1990 menurut catatan sekretaris mencapai 2698 santri.
Disini perlu dimaklumi oleh pembaca bahwa dari awal berdirinya
hingga sekarang.
Mujahadah dan riyadloh
Merupakan ciri yang tidak dapat
ditinggalkan. Tradisi ini telah ditanamkan oleh KH. Chudlori dalam
pondok pesantrennya. Banyak amalan yang dilakukan oleh santri sebagai
pondasi mental spiritual. Menurut Yusuf, salah seorang penasehat pondok:
“Tubuh ini ibarat gelas, sedangkan mujahadah dan riyadloh merupakan
pembersih atas gelas tersebut dari dosa dan maksiat, sehingga bila nanti
dituangi susu, kopi ataupun teh akan tetap rasanya. Kalau badan dan
jiwa kita bersih, maka dalam menerima ilmu juga akan baik dan bermanfaat
kelak.”
Seperti Shaumud dahr, tarkur ruz
(meninggalkan makanan dari beras/ngrowot), ya man huwa (meninggalkan
makanan yang bernyawa) dll. Merupakan bentuk amalan yang menjadi
keseharian di API. Mujahadah yang dilaksanakan mulai tengah malam hingga
pukul 1 istiwa’ menjadi rutinitas yang dilakukan santri. Selain itu,
wadhifah yang lain adalah membaca Al-Quran satu juz setiap harinya
sehingga dalam satu bulannya dapat mengkhatamkan Al-Quran.
Hubungan Masyarakat
Ketika akhirus sanah berlangsung,
sebagai rangkaian acara khataman (pelepasan santri) pondok menggelar
beraneka ragam kesenian budaya jawa, antara lain wayang kulit, jatilan,
tayub, dll. Acara tersebut berlangsung selama satu minggu. Malam
puncaknya setiap tanggal 13 Sya’ban. Pagelaran ini bertujuan untuk
mengumpulkan masyarakat desa guna diberi petuah-petuah yang berisikan
ajaran Islam. Dengan suka rela warga sekitar membantu kelancaran acara
tersebut.
Tidak hanya itu diwajibkan bagai santri
yang pada tahun terakhir menempuh pendidikannya untuk menjadi da’i.
Mereka disebar di daerah yang masih minim Islam. Hal ini merupakan
representasi pengabdian terhadap masyarakat.
Seperti contoh KH. Abdur Rahman Wahid
Ad-Dakhil yang sering disebut Gus Dur juga menuntut ilmu di API selama 2
tahun. Beliau membangun pondasi mental spiritual yang kuat dalam
kehidupannya.
“Pesantren yang besar adalah pesantren
yang mampu melahirkan pesantren kembali.” Ungkap Mudrik, salah seorang
penasehat pondok pesantren. Dan ini merupakan misi yang diemban oleh
API. Selain menjadi benteng pengaruh buruk budaya barat dan mencetak
figur yang dapat dijadikan suri tauladan.
Struktur Pengurus dan Pendidikan
Reorganisasi kepengurusan dibentuk
melalui rapat pleno yang diadakan tiap sepertiga akhir bulan Syawal.
Anggota sidang terdiri dari penasehat, pengurus pusat, dan pengurus
komplek. Pengasuh saat ini adalah KH. Abdurrochman Chudlori, dibantu
penasehat, kepala pondok, sekretaris, bendahara, seksi-seksi dan
anggota. Guna menjalankan roda organisasi pondok masing-masing komponen
harus menjalankan tugas masing-masing.
Untuk menimba ilmu di API, santri baru
hanya dikenai biaya sebesar Rp.29.500, santri lama Rp. 18.000 meliputi
pendaftaran, Kartu Tanda Anggota (KTA), dan dana pembangunan. Sedangkan
pengurus Rp. 2.000 (hanya pendaftaran). Untuk makan sehari-hari setiap
anggota kamar dibebani biaya sebesar harga beras/jagung 10/11 kg
(menurut hasil kesepakatan kamar masing-masing).
Ada delapan tingkatan yang harus
dilalui, pertama, Shifir (meliputi baca tulis arab, tarikh, sorogan juz
amma dan fasholatan) dan Ibtidaiyyah (meliputi tartilul Qur’an, Ta’limul
Muta’allim, khottul jamil, fiqh jawan, jurumiyyah jawan dan tajwid
jawan). Kedua, Al-Jurumiyyah (meliputi Al-Jurumiyyah, Safinatun najah,
tartilul Qur’an, tajwid, dan Aqidatul Awam). Ketiga, as-sorof (meliputi
As-shorof, Al-I’mrithi, Qowa’idul I’rab, Fathul Qorib). Keempat, Alfiyah
(meliputi Alfiyah Ibnu Malik dan Minhajul Qowim). Kelima, Fathul Wahab
(meliputi Fathul Wahab, Jauharul Maknun, dan pendalaman Fathul Qorib
Ula). Keenam, Al-Mahally (meliputi Al-Mahally, Mantiq, Faroidl, dan
pendalaman Fathul Wahab Tsany). Ketujuh, Al-Buchory (Al-Buchory,
Qowa’idul Fiqhiyyah, dan Mustholah Hadits). Dan terakhir kedelapan, Ihya
U’lumuddin (Ihya U’lumuddin, dan bahtsul Masail).
Adapun tiap tingkatan tersebut ditempuh
satu tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan seorang santri hanya
menempuh maksimal 2 tahun. Dengan hanya mengikuti dua tingkatan terakhir
saja. Sebab setiap masuk proses tingkatan melalui tes dari seksi
pendidikan (Dewan Qori’in).
Perkembangan terakhir
Selain menjaga API tetap menjadi pondok
pesantren salaf. Tuntutan masyarakat yang kian beragam, membuat Bani
Chudlori, memikirkan bagaimana melayani masyarakat sekaligus li’illai’
kalimatillah. Berawal dari inisiatif pribadi dan sekaligus disetujui
Bani Chudlori maka berdirilah Asrama Perguruan Islam Perempuan (APIP) I
KH. Mudrik Chudlori sebagai pengasuhnya. APIP II yang diasuh oleh KH.
Damanhuri. Sedangkan, KH. Yusuf Chudlori mendirikan yayasan Syubbanul
Wathon yang di dalamnya meliputi Sekolah Tinggi Agama Islam Syubbanul
Wathon (STAIS), Sekolah Menengah Kejuruan Teknologi Informasi (SMK TI),
Sekolah Dasar Islam Terpadu (SD IT) dan Taman Kanak-kanak Islam Terpadu
(TK IT
عَنْ
أَبِي عَبْدِ اللهِ جَابِرْ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِي رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا : أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ اْلمَكْتُوْبَاتِ،
وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْت الْحَرَامَ،
وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئاً، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟ قَالَ :
نَعَمْ
[رواه مسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari
Abu Abdullah, Jabir bin Abdullah Al Anshary radhiallahuanhuma :
Seseorang bertanya kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam,
seraya berkata : Bagaimana pendapatmu jika saya melaksanakan shalat yang
wajib, berpuasa Ramadhan, Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang
haram dan saya tidak tambah sedikitpun, apakah saya akan masuk surga ?.
Beliau bersabda : Ya.
(Riwayat Muslim)
Catatan :
* Seseorang yang bertanya dalam riwayat diatas adalah : An Nu’man bin Qauqal.
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث:
1.
Setiap muslim dituntut untuk bertanya kepada ulama tentang syariat
Islam, tentang kewajibannya dan apa yang dihalalkan dan diharamkan
baginya jika hal tersebut tidak diketahuinya.
2. Penghalalan dan pengharaman merupan aturan syariat, tidak ada yang berhak menentukannya kecuali Allah ta’ala.
3. Amal shalih merupakan sebab masuknya seseorang kedalam surga.
4.
Keinginan dan perhatian yang besar dari para shahabat serta kerinduan
mereka terhadap surga serta upaya mereka dalam mencari jalan untuk
sampai ke sana.
"Terkadang, kesulitan harus kamu rasakan terlebih dulu sebelum kebahagiaan yang sempurna datang kepadamu."
"Terkadang, kesulitan harus kamu rasakan terlebih dulu sebelum kebahagiaan yang sempurna datang kepadamu."
asalamualaikum,,
BalasHapusku mau tanya kpn pembukaan pendaftaran salaf baru dan berapa biaya pendaftaranya?