Nasikh adalah penghapusan lafazh atau
hukum suatu nash syara’, sedangkan mansukh adalah nash syara’ yang
dihapus lafazh atau hukumya.
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 106 :
“Apa saja ayat-ayat yang kami nasakh,
atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih
baik daripadanya, atau kami datangkan yang sebanding dengannya. Tidakkah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.
Macam-macam naskh dalam Al-Qur’an :
1. Naskh lafaz dan hukum.
Riwayat Ismail bin Ahmad dari Abu Umamah
bin Sahl bin Hanif, bahwa telah ada sekelompok orang sahabat Nabi yang
memberitahu dia tentang seorang laki-laki diantara mereka yang tidak
tidur pada tengah malam. Dia bermaksud untuk membuka catatan sebuah
surah yang sebelumnya dia hafal. Ternyata dia tidak menjumpai tulisan
surah itu kecuali hanya tulisan “Bismillahirrahmanirrahim”. Maka pada
keesokan harinya dia datang ke rumah Nabi untuk menanyakan hal tersebut.
Ternyata ada juga beberapa orang yang datang kepada Nabi sehingga
mereka berkumpul menjadi beberapa orang. Mereka saling menanyakan antara
yang satu dengan yang lain. Mereka juga saling menceritakan pengalaman
yang dialami masing-masing tentang tulisan surat yang tiba-tiba hilang.
Beberapa saat kemudian Nabi menerima mereka dan mendengarkan penuturan
mereka. Kemudian Nabi terdiam sejenak, setelah itu beliau bersabda : “Tadi
malam surat tersebut telah di nasakh. Maka hafalan surah itupun
dinasakh dari dada mereka (yang telah hafal) dan juga dari benda apapun
yang mengabadikan rasm (tulisan) surah tersebut”.
Riwayat dari Ibnu Mas’ud : “Telah
diturunkan sebuah ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah saw. sehingga saya
mencatatnya didalam mushafku. Namun pada suatu malam ternyata permukaan
mushaf itu hanya berwarna putih (hilang tulisannya), maka saya
menceritakan hal tersebut kepada Nabi, ternyata beliau bersabda : “Tidakkah kamu tahu bahwa ayat tersebut telah diangkat (dinasakh) tadi malam”.
Muslim meriwayatkan dari Aisyah :
“Diantara yang diturunkan kepada beliau (Nabi) adalah ‘sepuluh susuan
yang maklum itu menyebabkan muhrim”. Lafazh Ayat tersebut telah dinasakh
dengan ayat “Lima susuan yang maklum”. Jadi lafazh ‘Sepuluh susuan’
telah dinasakh dengan ayat lain yang ber lafazh ‘Lima susuan’. Demikian
juga hukum lima susuan telah menasakh hukum sepuluh susuan yang
menyebabkan menjadi muhrim.
2. Naskh lafaz sedang hukumnya tetap.
Yaitu lafazh ayat dihapus dari mushaf, tapi hukumnya tetap berlaku. Contohnya tentang hukum rajam bagi pezina muhson.
Riwayat dari Said bin Al-Musayyab :
“bahwa Umar bin Khattab telah berkata : “…Mengenai ayat tentang rajam,
maka janganlah sampai kalian tidak mengetahuinya, karena sesungguhnya
Rasulullah saw. telah menerapkan hukuman rajam, begitu juga dengan kami,
kami telah mempraktekkannya. Ayat tentang rajam itu benar-benar telah
diturunkan. Ayat rajam yang kami baca, “Orang tua laki-laki dan orang
tua perempuan (maksudnya yang sudah menikah) jika sampai melakukan
perbuatan zina, maka rajamlah keduanya dengan pasti”. Kalau bukan
karena khawatir orang-orang akan mengatakan Umar telah menambahkan
sebuah ayat dalam kitab Allah, pasti saya telah menulis ayat itu dengan
tanganku sendiri (dalam mushaf Al-Qur’an)””.
3. Naskh hukum sedang lafaznya tetap.
Yaitu lafazh ayat yang dihapus (mansukh)
masih tetap ada dalam mushaf, tapi hukumnya telah dihapus oleh ayat
yang menghapusnya (nasikh). Ulama terdahulu (abad 1 s.d. 3 H) memperluas
konsep nasakh hingga mencakup hal hal :
a. Penghapusan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian (taksish) hukum yang bersifat umum oleh hukum yang meng khususkannya.
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang samar.
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Ulama Mutaakhkhirin mempersempit
pengertian nasakh hanya bila meghapuskan hukum yang terdahulu atau telah
berakhirnya masa berlaku hukum yang terdahulu sehingga ketentuan yang
berlaku adalah hukum yang ditetapkan terakhir. Para ulama masih
memperselisihkan adakah ayat Al-Qur’an yang dinasakh hukumnya sedangkan
lafazhnya masih ada dalam mushaf. Sebagian berpendapat tidak ada, yaitu :
Abu Muslim al-Ashfani, Fakhruddin ar Razi, Muhammad Abduh, dll.
Kelompok yang menolak adanya nasakh hukum, mereka menta’wilkan kata
“ayat” dalam QS Al-baqarah : 106 dengan “mukjizat” jadi yang di nasakh
adalah mukjizat bukan ayat Al-Qur’an.
Adapun kelompok yang menetapkan adanya
nasakh, menafsirkan kata “ayat” dengan zahirnya, diantaranya Imam
Syafi’i, Imam Syaukani dan As-Suyuthi. Mengenai ayat-ayat yang dinasakh,
kelompok yang menetapkan adanya nasakh juga berbeda pendapat.
As-Suyuthi menyebutkan ada 21 ayat Al-Qur’an yang dinasakh.
Pembagian Naskh
1. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Semua ulama sepakat kebolehannya, bagi yang menetapkan adanya naskh
2. Naskh Al-Qur’an dengan hadits
a. Naskh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir.
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad membolehkannya.
b. Naskh Al- dengan hadits Qur’an ahad.
Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan jumhur
ulama tidak membolehkan, berdasarkan ayat “Apa saja yang kami nasakh
kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik atau yang sebanding dengannya” (QS Al-Baqarah [2] : 106).
3. Naskh hadits dengan Al-Qur’an
Jumhur ulama sepakat membolehkan, contoh
Arah kiblat ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunah dinasakh oleh
ayat Al-Qur’an, QS Al-Baqarah [2] : 144 : “Maka palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram”
4. Naskh hadits dengan hadits
a. Naskh hadits mutawatir dengan hadits mutawatir
b. Naskh hadits ahad dengan hadits ahad
c. Naskh hadits ahad dengan hadits mutawatir
d. Naskh hadits mutawatir dengan hadits ahad
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang bentuk ke-empat diperselisihkan.
5. Naskh berpengganti dan tidak berpengganti
a. Nasakh tanpa pengganti, contoh :
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu
mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu” (QS Al-Mujadalah [58] : 12).
Ketentuan ini dinasakh oleh ayat :
“Apakah kamu takut akan (menjadi
miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul ?
Maka jika kamu tidak memperbuatnya – dan Allah telah memberi taubat
kepadamu – maka dirikanlah shalat, tunaikan zakat”. (QS Al-Mujadalah [58] : 13).
b. Nasakh dengan badal akhtaff, misalnya firman Allah :
“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu … “ (QS Al-Baqarah [2] : 187).
Ayat ini menghapus firman Allah :
“…sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu …” (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Karena maksud ayat QS Al-Baqarah [2] :
183 adalah agar puasa kita seperti ketentuan puasa orang-orang
terdahulu, yaitu dilarang bercampur dengan istri apabila mereka telah
mengerjakan shalat petang atau telah tidur.
c. Nasakh dengan badal mumasil, misalnya penghapusan arah Kiblat ke Baitul Makdis menjadi menghadap ke Masjidil Haram.
“Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram..” (QS Al-Baqarah [2] : 144).
d. Nasakh dengan badal asqal, seperi penghapusan hukuman penahanan rumah, dalam ayat :
“Dan (terhadap) para wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah empat orang saksi dari pihak
kamu (untuk menjadi saksi). Kemudian apabila mereka telah memberi
kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai
meninggal…” (QS An-Nisa’ [4] : 15).
Ayat tersebut dinasakh dengan ayat
tentang hukuman rajam bagi pezina muhson (sudah pernah menikah) atau
dera seratus kali bagi pezina yang belum pernah menikah.
Contoh-contoh naskh.
As-Suyuthi menyebutkan dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat, diantaranya :
1. QS Al-Baqarah [2] : 144 : “Maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram”
Ayat ini menasakh arah kiblat ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
2. QS Al-Baqarah [2] : 180 : “Diwajibkan
atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabatnya …”
Kewajiban berwasiat dalam ayat ini dinasakh oleh ayat tentang hukum waris dan diperkuat oleh hadits. “Sesungghuhnya
Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan
warisnya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”
3. QS Al-Baqarah [2] : 284 : “Jika
kamu melahirkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya,
niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu
itu.”.
Ayat ini meng isyaratkan Allah akan
membuat perhitungan terhadap perbuatan dan lintasan hati manusia. Namun
pertanggungjawaban lintasan hati ini dinasakh oleh QS Al-Baqarah [2] :
286 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
4. QS Al-Anfal [8] : 65 : “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh…”
Ayat ini melarang kaum muslimin mundur
dari peperangan bila jumlah musuh kurang dari sepuluh kali lipat, namun
ayat ini di nasakh dengan QS Al-Anfal [8] : 66 :
“Sekarang Allah telah meringankan
kepadamu dan Dia mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada
diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang”. Ayat ini membolehkan kaum muslimin mundur dari peperangan bila jumlah musuh lebih dari dua kali lipat.
Namun kelompok yang tidak mengakui
adanya nask hukum dalam mushaf Al-Qur’an tetap memberikan argumentasi
bahwa ayat-ayat tersebut bukan nasakh, melainkan hanya mentahsis atau
bisa dikompromikan atau berlaku menurut masa tertentu atau punya sebab
berbeda sehingga hukumnya berbeda.
Hikmah adanya Nasakh :
1. Memelihara kepentingan kaum muslimin.
2. Perkembangan tasyri menuju tingkat kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi mukallaf, yaitu apakah mengikuti (mempelajarinya) ataukah tidak.
4. Menghendaki kebaikan bagi umat. Jika
nasakh beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan
pahala, dan jika beralih ke yang lebih ringan maka mengandung kemudahan
dan keringanan.
Reference :
1. Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, author : Manna Khlail al-Qattan. Publisher : Lintera Antar Nusa.
2. Al-Qur’an dan ulumul Qur’an, author : Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag. Publisher : Dana Bhakti Prima Yasa.
3. Al-Qur’an sumber hukum Islam yang pertama, author : Drs. Miftah Faridl & Drs. Agus Syihabudin. Publisher : Pustaka.
4. Ulumul Qur’an Praktis, author : Drs. Hafidz Abdurrahman, MA. Publisher : Idea Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar