Di dalam kitabnya, al Bidayah wa n-Nihayah, Ibnu Katsir memaparkan sebuah kisah :
Dulu, ada seorang lelaki miskin tetapi
memiliki banyak harta, lalu hartanya dibawa oleh seorang amir yang
berkuasa. Namun setiap kali orang miskin ini memintanya ia pasti
disakiti, dan dipukuli oleh anak si amir. Kemudian dia mengadu kepada
panglima perang namun sama saja, dia tidak mendapatkan haknya.
Orang miskin ini berkata, “Setelah itu,
aku merasa putus asa untuk mendapatkan hartaku, dan aku sangat sedih.
Ketika keadaanku seperti itu, dan aku bingung kepada siapa lagi aku
harus mengadu, tiba-tiba ada seorang lelaki yang berkata kepadaku,
“Kenapa kamu tidak menemui tukang jahit depan masjid saja?”.
Jawabku, “Apa yang bisa diperbuat oleh
tukang jahit itu dengan kedhaliman ini?, dan pihak pemerintah daulah
belum memberi keputusan dalam perkara ini.”
Dia berkata, “Tukang jahit ini lebih
mampu dan ditakuti dari orang-orang yang telah kamu temui, temuilah dia
maka kamu akan mendapatkan kebahagiaan.”
Lelaki miskin ini berkata, “Kemudian aku
menemuinya tanpa menggangu urusannya, aku utarakan keperluan dan
hartaku, serta kedholiman yang aku dapatkan.”
Kemudian dia berdiri dan menutup
tokonya, lalu berjalan di sampingku menuju rumah amir itu dan mengetuk
pintunya. Diapun keluar dengan muka marah, tetapi ketika melihat tukang
jahit itu dia ketakutan, bahkan ia memuliakan dan menghormatinya.
Tukang jahit itu berkata, “Berikan hak orang miskin ini!!!”
Amir itu membantahnya, “Aku tidak membawa apapun miliknya.”
Tukang jahit itu berteriak dan berkata,
“Serahkan hak orang ini, kalau tidak aku akan adzan !!”. Seketika itu
juga wajahnya berubah dan dia langsung memberikan seluruh hartaku,
kemudian kami pergi.
Aku sangat heran sekali dengan penjahit ini, dengan keadaanya yang menyedihkan dan rumahnya yang reyot,
bagaimana bisa pembesar itu patuh kepadanya?. Lalu aku berniat
memberikan sedikit hartaku tapi dia menolaknya dan berkata, “Aku bisa
mendapatkan yang lebih dari ini jika aku mau.” Kemudian aku bertanya
tentang dirinya, dan aku ungkapkan kekagumanku kepadanya, namun dia
tidak menoleh sedikitpun, akupun mengulang-ulang tanyaku padanya.
Aku bertanya, “Kenapa kamu mengancamnya dengan adzanmu?!”
“Aku sudah mengambilkan hartamu, maka pergilah.” jawabnya.
“Tidak, kamu harus menceritakan kepadaku.” kataku.
Akhirnya dia mau bercerita, “Penyebabnya
adalah kejadian beberapa tahun yang lalu. Aku memiliki tetangga seorang
pembesar daulah dari turki, dia seorang lelaki yang tampan. Pada suatu
malam, ada perempuan baik-baik yang baru keluar dari kamar mandi, dia
memakai baju panjang yang mahal. Lelaki itu mencegatnya dalam keadaan
mabuk kemudian menarik dan ingin membawa perempuan itu ke rumahnya.
Perempuan itu menolak dan berteriak dengan keras, “Aku adalah perempuan
yang sudah bersuami, dan laki-laki ini menginginkanku dan memaksaku
masuk ke dalam rumahnya, padahal suamiku telah bersumpah akan mentalak
aku jika aku tidak bermalam di rumahnya, jika aku bermalam di sini maka
akan jatuh talak kepadaku, dan aku akan menanggung malu dan kehinaan
yang tidak dapat dibersihkan.”
Penjahit itu melanjutkan ceritanya,
“Lalu aku menemui dan mencegahnya serta membebaskan perempuan itu dari
cengkramannya, tetapi kemudian dia menyabetku dengan pedang yang ada di
tangannya, kepalaku terluka dan berdarah.”
Dia memaksa perempuan itu dan membawanya
ke dalam rumah sedangkan aku langsung pulang untuk membersihkan darah
yang mengalir di kepalaku dan membalutnya. Aku berteriak kepada
orang-orang, “Kalian mengetahui masalah ini, maka mari kita bersama-sama
mencegahnya dan kita bebaskan perempuan itu dari cengkramannya.”
Orang-orang pun datang bersamaku
menyerang rumah orang itu, tetapi kami dihadang oleh para penjaganya,
mereka mengamuk dan memukuli kami dengan tongkat dan pisau. Anak
lelakinya pun mendatangi dan memukuliku dengan hebatnya sehingga aku
berdarah. Kami diusir dari rumahnya dengan sangat hinanya.
Akupun kembali pulang dengan sempoyongan
karena hebatnya siksaan dan darah yang mengalir. Aku ingin tidur di
atas ranjang tapi aku tidak bisa tidur, aku bingung memikirkan bagaimana
cara untuk menolong perempuan itu sehingga dia bisa bermalam di rumah
suaminya sehingga ia tidak ditalak. Tiba-tiba aku berpikiran untuk
mengumandangkan adzan shubuh pada pertengahan malam, agar dikira shubuh
telah datang, sehingga lelaki itu akan mengeluarkan perempuan itu dari
rumahnya, dan pergi ke rumah suaminya.
Aku pun naik keatas menara dan
mengumandangkan adzan dengan mengeraskan suaraku. Aku lihat ke rumah
lelaki itu; apakah perempuan itu sudah keluar, lalu aku selesaikan
adzanku?. Tapi ternyata perempuan itu tidak keluar juga. Akupun berniat
jika perempuan itu tidak keluar maka aku akan mengerjakan shalat
sehingga lelaki kotor itu benar-benar tahu bahwa waktu shubuh telah
datang. Ketika aku melihat apakah perempuan itu sudah keluar apa belum,
tiba-tiba jalanan dipenuhi dengan kuda dan manusia.
Orang-orang pun berkata, “Siapa yang
mengumandangkan adzan pada jam segini?” lalu melihat melihat menara
masjid. Akupun berteriak kepada mereka, “Aku yang tadi adzan” Aku pun
berharap mereka akan membantuku.
Mereka berkata, “Turun kamu!”, kemudian aku turun.
Mereka berkata, “Hadapkan dia pada
khalifah!” Aku pun ketakutan. Aku meminta kepada mereka demi Allah untuk
mendengarkan kejadian yang sebenarnya, tapi mereka menolak. Mereka
mengarakku ke hadapan khalifah, dan aku tidak berdaya sampai akhirnya
aku berada dihadapannya.
Tatkala aku melihatnya duduk di atas kursi kekhalifahan aku gemetar ketakutan.
Khalifah berkata, “Duduklah”, akupun duduk.
Khalifah berkata lagi, “Jangan takut,
tenangkan hatimu.” Kholifah selalu ramah kepadaku sehingga aku menjadi
tenang, dan ketakutanku menghilang.
Khalifah bertanya kepadaku, “Apakah kamu yang tadi mengumandangkan adzan?”.
“Iya amirul mukminin.” jawabku.
“Apa yang mendorongmu melakukan hal
tersebut padahal waktu malam masih panjang? Kamu sudah menipu orang yang
shaum, musafir, orang yang shalat dan mengganggu kaum perempuan yang
sedang sholat.”
Aku menjawab, “Berilah keamanan kepada saya wahai amirul mukminin sehingga saya menceritakan kejadian yang sebenarnya.”
Khalifah berkata, “Baiklah kamu aman.”
Lalu aku menceritakan kejadian yang sebenarnya dan beliau marah besar.
Kemudian beliau memerintahkan untuk menghadirkan lelaki dan perempuan
itu, dan keduanya pun hadir dengan segera.
Perempuan itu pun dikembalikan kepada
suaminya bersama perempuan-perempuan yang dapat dipercaya. Kemudian
beliau menemui lelaki itu dan bertanya, “Berapa banyak rizki yang kamu
peroleh? berapa banyak harta yang kamu punya? Dan berapa banyak tetangga
dan istri-istrimu?” Kemudian dia sebutkan jumlahnya yang banyak.
Khalifah pun berkata, “Celaka kamu, apa
yang menghalangimu dari nikmat yang diberikan oleh Allah sehingga kamu
merampas yang diharamkan oleh Allah dan melampaui batas-batas-Nya serta
menyalahgunakan kekuasaan?! Apa yang menghalangimu sehingga kamu
menyiksa orang yang beramar ma’ruf dan nahi munkar kepadamu?” Dia tidak
menjawab sepatah katapun.
Kemudian kakinya diikat, lehernya
dibelenggu dan dimasukkan kedalam karung. Dia berteriak-teriak minta
tolong, dan menyatakan bertaubat. Sedangkan khalifah tidak
menggubrisnya, dan memerintahkan para prajurit untuk memukulinya dengan
pedang sehingga dia terdiam.
Selanjutnya khalifah memberi perintah
agar lelaki itu dibuang di sungai dajlah dan begitulah akhir kisah
hidupnya. Beliau juga menyita harta dari dulu diambil dari baitul mal
yang berada dirumah lelaki tersebut.
Kemudian khalifah berpesan kepadaku,
“Setiap kali engkau melihat kemungkaran besar ataupun kecil walaupun
dilakukan oleh dia (seraya menunjuk kepada petugas polisi) maka
beritahukanlah kepadaku jika kamu bertemu denganku, kalau tidak maka
tandanya adalah dengan adzan, kumandangkan adzan kapan saja atau seperti
yang kamu lakukan tadi”.
“Semoga Allah memberi balasan kebaikan kepada anda”, jawabku, lalu aku mohon diri keluar.
Tukang jahit itu mengakhiri kisahnya,
“Oleh karenanya, apapun yang aku perintahkan pasti mereka kerjakan, dan
apapun yang aku larang pasti mereka tinggalkan karena takut terhadap
khalifah Mu’tadhid, dan aku tidak pernah adzan lagi seperti waktu itu
sampai sekarang…Alhamdulillah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar