“إِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ”
(Apabila Kamu Telah Bertolak Dari Arafah)
Mukaddimah:
بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله الذي بنعمته تتم الصالحات، وبعد!
Jabal Arafah:
Arafah
adalah nama sebuah bukit terletak sekitar 20 Km di sebelah timur kota Makkah,
tempat melaksanakan salah satu manasik yang paling penting dalam ibadah haji, yaitu
“wukuf di Arafah” pada hari ke-9 bulan Zul-Hijjah, sehari sebelum Idul Adha.
Wukuf di Arafah merupakan puncak pelaksanaan manasik haji, sebagaimana sabda
rasulullah SAW: “Puncak manasik haji adalah wukuf di Arafah”.
Nama
Arafah berasal dari Bahasa Arab “عَــــــــرَفـَـــــــةُ” (mengetahui), sejarah
penamaannya kembali kepada peristiwa ribuan tahun yang lalu, yaitu ketika nabi
Ibrahim as memohon kepada Allah diberitahukan manasik ibadahnya (Lihat: QS: 02:
128), maka Allah mengutus malaikat Jibril as memperagakan manasik kepadanya,
sebagaimana telah dijelaskan pada beberapa serial kita yang lalu (lihat kembali);
Mula-mula Jibril membawa Ibrahim tawaf di Baitullah, lalu ke bukit Shafa, bukit
Marwah, Mina, Muzdalifah, dan terakhir ke jabal Arafah; setelah rampung semua peragaan manasiknya, maka
Jibril bertanya kepada Ibrahim: “أَعَرَفْتَ؟ أَعَرَفْتَ؟” (Apakah kamu sudah mengetahui? 2x), kemudian Ibrahim menjawab:
“عَرَفْتُ... عَرَفْتُ” (saya sudah mengetahui... saya
sudah mengerti).
Ada juga versi riwayat menceritakan: Ketika Adam as dan
bunda Hawa turun dari surga, mereka mendarat di bumi secara terpisah satu sama
lain, dan akhirnya keduanya bertemu di lokasi jabal Arafah maka mereka saling
mengetahui keberadaannya di tempat itu. Dan bagi umat Islam jabal Arafah – sekarang
– telah menjadi ajang pertemuan besar; setiap tahun berkumpul di sana jutaan
umat Islam dari seluruh penjuru dunia untuk saling mengetahui dan mengenal satu
sama lain dalam satu tujuan bersama yaitu menunaikan ibadah haji sebagai bukti
ketaatan kepada Allah SWT.
Lanjutan Tafsir Ayat-ayat Haji dan Umrah:Allah berfirman:
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ (١٩٨) ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٩٩)
Artinya: “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat; Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: 02: 196 – 199)
Puncak Manasik Haji Wukuf Di Arafah:
Allah berfirman:
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ
Artinya: “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafat,,,”;
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa puncak prosesi manasik
haji adalah wukuf di padang Arafah, seperti sabda rasulullah SAW: “Haji
adalah wukuf di Arafah”, oleh karena itu bagaimana pun kondisi calon haji -
selama masih bernafas - maka dia tetap wajib berada dan wukuf di Arafah pada
hari ke-9 Zil-Hijjah, tempo antara mulai tergelincir matahari (siang) sampai
terbenamnya menjelang maghrib, tidak boleh di wakili oleh siapa pun.
Jika calan haji tidak melakukan wukuf atau tidak memasuki
wilayah Arafah pada tempo-tempo di sebutkan di atas, maka dia terhitung tidak
menunaikan ibadah haji. Tidak boleh mengikuti wukuf dari Makkah, karena Arafah
berada di luar garis batas tanah haram, yaitu salah satu garis batas tanah
haram dari arah timur, luasnya secara keseluruhan sekitar 10,4 Km2.
Selama wukuf di Arafah para jamaah haji berzikir menyebut
nama Allah dan memperbanyak doa; melaksanakan shalat Dhuhur dan Ashar dengan (qashar
dan jama’ taqdim) secara berjamaah dan
mendengarkan khutbah wukuf, sambil tetap memanjatkan doa dan zikir.
Berzikir Di Masy’aril Haram:
Allah berfirman:
أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ (١٩٨)
Artinya: “kamu telah bertolak dari Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”;
Yaitu, berangkat meninggalkan
Arafah setelah terbenam matahari, memasuki malam kurban (10 Zul-Hijjah), menuju
ke Masy’aril Haram yaitu Muzdalifah. Mabit (bermalam) di Muzdalifah; melaksanakan
shalat Maghreb dan Isya (qashar shalat Isya dan jama’ ta’khir); memperbanyak
zikir dan do’a; mengambil minimal 7 butir batu kerikil untuk melontar Jamrah
Aqabah; dan shalat Subuh di Muzdalifah.
Bertolak Menuju Mina:
Allah berfirman:
ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٩٩)
Artinya: “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah-Muzdalifah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: 02: 199)
Manasik selanjutnya, setelah
mabit di Muzdalifah dengan memperbanyak zikir dan doa di Masy’aril Haram
tersebut, maka - setelah matahari terbit dan mulai terang - lalu bertolaklah
dari Muzdalifah, yaitu tempat orang-orang bertolak itu dari semenjak nabi
ibrahim as sampai sekarang, menuju ke Mina; langsung menuju Jamrah Aqabah dan melontar
7 butir batu secara berturut sambil membaca “Allahu Akbar” setiap
lemparan.
Kemudian berangkat menuju ke
tempat penyebelihan memotong “hadyu” (binatang kurban); pergi tawaf di Baitullah;
Sa’i di Shafa dan Marwah. Dan kembali bermalam di Mina selama hari-hari tasyriq
(11-12-13 Zul-Hijjah); melontar tiga Jumrah (ulaa, wusthaa dan aqabah) sekali
tiap hari selama hari-hari tasyriq tersebut, maka selesailah semua manasik haji
sebagaimana telah di contohkan nabi Muhammad SAW yang di warisi dari buyutnya
Ibrahim as.
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلى الله
عليه وسلم فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : إِنَّ
اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ : فَمَنْ
هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا عِنْدَهُ حَسَنَةً
كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ
عَشْرَةَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ
كَثِيْرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ
عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا
اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً “
[رواه البخاري ومسلم في صحيحهما بهذه الحروف]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari
Ibnu Abbas radhiallahuanhuma, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam sebagaimana dia riwayatkan dari Rabbnya Yang Maha Suci dan Maha
Tinggi : Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan dan keburukan,
kemudian menjelaskan hal tersebut : Siapa yang ingin melaksanakan
kebaikan kemudian dia tidak mengamalkannya, maka dicatat disisi-Nya
sebagai satu kebaikan penuh. Dan jika dia berniat melakukannya dan
kemudian melaksanakannya maka Allah akan mencatatnya sebagai sepuluh
kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat bahkan hingga kelipatan yang
banyak. Dan jika dia berniat melaksanakan keburukan kemudian dia tidak
melaksanakannya maka baginya satu kebaikan penuh, sedangkan jika dia
berniat kemudian dia melaksanakannya Allah mencatatnya sebagai satu
keburukan.
(Riwayat Bukhori dan Muslim dalam kedua shahihnya dengan redaksi ini).
Pelajaran.
1.
Kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya yang beriman sangat luas dan
ampunannya menyeluruh sedang pemberian-Nya tidak terbatas.
2. Sesungguhnya apa yang tidak kuasa oleh manusia, dia tidak diperhitungkan dan dipaksa menunaikannya.
3.
Allah tidak menghitung keinginan hati dan kehendak perbuatan manusia
kecuali jika kemudian dibuktikan dengan amal perbuatan dan praktik.
4.
Seorang muslim hendaklah meniatkan perbuatan baik selalu dan
membuktikannya, diharapkan dengan begitu akan ditulis pahalanya dan
ganjarannya dan dirinya telah siap untuk melaksanakannya jika sebabnya
telah tersedia.
5. Semakin besar tingkat keikhlasan semakin berlipat-lipat pahala dan ganjaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar