Entri Populer

Senin, 11 Februari 2013

Santri tertarik ma Bu Nyai

… Mohon beribu maafmu Pak kyai, Saya.., Santri yang baru tiga tahun mendekam di pesantren itu kelihatan ragu meneruskan kata-katanya, jantungnya berdegup kencang, satu dua keringat tak dapat di tahan, ahirnya mengucur membasahi keningnya. tapi luapan perasaan di dadanya kian menyiksa, batinya meronta, tak dapat ditunda lagi, harus diledakan saat ini juga. ia pun pasrah andaikan setelahnya dilemparkan ke kandang macan, ataupun dikutuk mejadi monyet, asalkan dapat memuntahkan beban dihati yang selama ini menelikungnya.

Pak kyai yang sedari tadi mengamati polah tingkah anak santrinya mafhum, kemudian berkata lunak; Ada apa Cah?… katakan saja… Melihat respon pak kyai yang datar, santri itu merasa mendapat kekuatan baru, dikumpulkan lagi nyawanya yang berserakan, lalu meluncurlah kalimat maha konyol dari sela-sela mulutnya;..sekali lagi mohon maaf pak kyai, saya…kepincut Bu nyai, istri pak kyai.. Plooong!!…usai mengucapkan kalimat terahir, Santri itu mendadak merasakan badanya ringan seringan kapas, sambil menanti reaksi pak kyai, anganya melayang-layang membayangkan murka pak kyai, lalu silih berganti bayangan siksa mengerikan yang bakal menderanya, tapi batinya tersenyum puas.

Tapi santri itu kecele, santri itu luput, pak kyai bukanya muntab, pak kyai justru terkekeh geli, ada apakah ini? apakah berarti pak kyai setuju, mau merelakan bu nyai yang cantik untuk aku yang malang ini? oh.. beruntung sekali aku, pikir santri. Bocah, ya..kau boleh memiliki istriku, dan syaratnya gampang, gampang sekali… Suara pak kyai mengejutkan santri itu, harap-harap cemas ia bertanya; ma’af pak kyai kiranya apa syarat yang harus saya penuhi?, gampang, kau takkan kusuruh membuat candi, cukup lakukan Shalat lima waktu berjama’ah selama 40 hari, ingat! berjama’ah… lalu datanglah kemari, jemput bu nyai. tandas pak kyai tegas. cuma itu pak kyai?… ya!, jawab pak kyai mantap.

Selepas menghadap pak kyai dan menyampaikan unek-uneknya, santri itu kini boleh tersenyum bahagia, bahkan bersiul-siul riang, hari-harinya kini terasa menyenangkan, layaknya petani yang menanti padinya di panen, sepenuh hati ia menjalakan syarat yang ditentukan pak kyai, Ah… syarat itu terlalu ringan, cuma shalat berjama’ah apa susahnya, energi kebahagiaan itu meluap-luap tatkala adzan berkumandang, dalam kondisi apapun secepat kilat ia menyongsong panggilan itu, ya… Adzan, diam-diam selama dalam penantianya, ia mulai merindukan suara itu.

Sekali waktu ia tak sabar termangu menunggu adzan, hadir bayang wajah cantik bu nyai, lalu menuntun langkah kakinya ke masjid, sampai di pelataran masjid, banyak sekali sampah berserakan, sementara waktu shalat tak kunjung tiba, kembali mata bu nyai mengerling genit mengarahkan langkahnya ke sudut bangunan itu, disana tergeletak sapu, ia pungut benda yang selama ini luput dari perhatianya itu, perlahan ia menyapu. Usai menyapu waktu shalat tak jua hadir, ia amati seluruh ruangan, terlihat Alqur’an merana diatas lemari sudut ruangan itu, kemudian ia memutuskan untuk mengambilnya, tak terasa lembar demi lembar telah habis ia baca, waktu subuh pun tiba, namun belum satupun orang lain datang, rupanya ia telah semalaman di masjid, bergegas kemudian suaranya memecah kesunyian…

Seperti itulah ia menjalani hari-harinya, menjadi orang yang pertama kali masuk masjid, bahkan sering ia tak tidur, hanya untuk menanti shalat berjama’ah. tanpa terasa pertemuan terahirnya dengan pak kyai telah genap 40 hari, itu berarti syarat yang di janjikan pak kyai telah khatam, ia berhasil menjalaninya tanpa cacat, sekarang ia berhak menagih janji kepada pak kyai, menyunting bu nyai!. Tapi… hati kecilnya berbisik, tak mungkin, tak mungkin kulakukan itu, jika itu kulakukan sama saja aku membunuh kebahagiaanku, ah,.. hari-hariku menjadi bermakna karena penantian itu, ya.. menanti waktu shalat, lalu bejamaah, ya..menanti dalam penantian itulah yang sesungguhnya menarik, dan itu tak akan kudapatkan lagi setelah kupersunting bu nyai.

Bisikan-bisikan kecil dalam hatinya berubah menjadi teriakan, Ia datangi pak kyai, sambil menangis tersuruk-suruk ia pegangi lutut pak kyai; maafkan aku pak kyai, ampuni muridmu ini,… He,..kenapa kamu ini bocah?, bukanya kamu kesini mau menjemput bu nyai?!, tanya pak kyai. Tidak pak kyai, maafkan muridmu yang bodoh ini, setelah menuruti anjuran pak kyai untuk berjamaah, saya sadar sekarang, lewat shalat berjamaah saya belajar mengendalikan diri, mengendalikan nafsu dan egoisme, tidak semata-mata saya sujud bila imam belum sujud, dan banyak lagi manfaat yang dapat saya pelajari, termasuk menginginkan sesuatu yang bukan hak saya pak kyai, sekali lagi maafkan murid. Sang kyai pun tersenyum dan berkata bijak; bangunlah muridku, Engkau telah menemukan sejatinya shalat, shalat yang sempurna itu berdampak Tanha Anil Fhsya Wal Munkar, sedangkan untuk mencapai yang sempurna adalah berjamaah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar