bid'ah secara lughot/bahasa: suatu masalah yang dibuat dengan tidak melihatmasalah yang dahulu.
bid'ah menurut syaria'at/agama: suatu perkara yang di buat baru/memperbaharui yang berbeda dengan
apa yang dijalani oleh rosul yang mempunyai sarak
Bid'ah ada 5 macam;
1. Bid'ah wajibah ;suatu perkara yang menyalahi syara' tetapi karena ada dalil/qoidah yg mewajibkan
contoh membukukan alquran ketika takut tersia sia
2.Bid"ah mandzubah;suatu perkara yang menyalahi syara' tetapi karna ada dalil /qoidah yang
mensunatkannnya.contoh jamaah sholat teraweh,mbangun masjid/madrasah
3. Bid'ah makruhah.suatu perkara yang menyalahi syara' tetapi karna ada dalil /qoidah yang
memakruhkannya.contoh memperbaiki masjid
4.Bid'ah mubahah:suatu perkara yang menyalahi syara' tetapi karna ada dalil /qoidah yang
memperbolehkan.contoh;memperlebar lengan baju
5.Bid'ah haromah;suatu perkara yang menyalahi syara' tetapi karna ada dalil /qoidah yang
mengharamkan.contoh membayar pajak islam pada kfir dimy
Disamping itu pula ada pendapat imam
Syafii yang disalahkan artikan dari sebagian kaum muslimin yang kemudian
dijadikan kontrovesi dan perselisihan, dan sebagian para ulama
berlindung pada qaul Imam Syafi’ie ini. Yaitu tentang pembagian bid’ah
hasanah (baik) dan bid’ah sayyi‘ah (buruk). Imam Syafi’I berkata:
عَنْ حَرْمَلَة بْنِ يَحْيَ رَحِمَهُ اللهُ قَالَ : سَـمِعْتُ الشَّا فِعِيَّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُوْلُ : اَلْبِدْعَةُ بِدْ عَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مُحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السَّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْم .ٌ
Dari Harmalah bin Yahya rahihullah berkata: “Aku
mendengar as Syafi’ie rahimahullahu ta’ala berkata: Bid’ah ada dua,
yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Apa yang bersesuaian
dengan sunnah maka itu adalah terpuji dan apa yang bertentangan dengan
sunnah berarti tercela.”[7]
وَقَالَ الرَّبِيْعُ رَحِمَهُ اللهُ : قَالَ الشَّـافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى : اَلْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلاُمُوْرِ ضَرْبَانَ : اَحَدُهُمَا مَا اَحْدَثَ يُخَالِفُ كَتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْاِجْمَاعًا اَوْ اَثَرًا فَهَذِهِ الْبِدْعَةُ الضَّلاَلَةُ . وَالثَانِيْ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا فَهِيَ غَيْرُ مَذْمُوْمَة.
Berkata Ar-Rabbi rahimahullah: Telah
berkata as-Syafi’ie rahimahullahu Ta’ala: perkara-perkara yang diadakan
terbagi dua: yang pertama apa yang di buat bertentangan dengan al-Kitab
(al Qur’an), Sunnah, Ijma atau atsar, maka inilah bid’ah yang sesat.
Kedua apa yang di buat berupa kebaikan yang tidak bertentangan dengan
salah satu dari perkara (al Qur’ah, Sunnah, Ijma, dan atu atsar) maka
itu perbuatan yang tidak tercela.[8]
“Bid’ah itu terbagi kepada yang baik
dan yang buruk, atau yang terpuji dan tercela. Dalam perkara ini,
termasuklah setiap yang diada-adakan selepas zaman Rasulullah sholallahu
‘alaihi wasallam dan para Khulafa Ar-Rasyidin”[9]
Persoalan-persoalan qaul Imam Syafii ini
telah dijelaskan oleh salafus shalih, diataranya Abdul Qayyum bin
Muhammad bin Nasir as-Shaibani rahimahullahu dalam kitabnya اللمع فى الرد على محسني البدع hal 36 - 37.
Beliau menjelaskan qaul Imam Syafii tersebut diantaranya:
a. Tidak diterima seharusnya perkataan
sesorang manusia yang bertentangan dengan sabda Rasulullah sholallahu
‘alaihi wasallam walau siapapun orangnya. Sabda Nabi adalah hujjah bagi
setiap orang dan bukan perkataan seseorang itu menjadi hujjah untuk
menentang/meninggalkan sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam[10] sedangkan nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda tentang bid’ah:
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
Artinya: “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dari neraka.”[11] Dalam hal ini juga Abdulah bin Abbas Radhiallahu ‘anhuma berkata:
Artinya: Tidak ada pendapat seseorang (yang) dapat diambil atau ditinggalkan kecuali sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam.[12] Sebagai
kesimpulan bahwa pendapat seseorang itu tidak bisa berketerusan
diterima bila bertentangan dengan sabda Nabi sholallahu ‘alaihi
wasallam.
c. Bagi siapa yang mau mencoba
untuk memahami tentang qaul Imam Syafii maka dia tidak akan ragu-ragu
lagi bahwa yang dimaksudkan dengan Imam Syafii bid’ah dari segi bahasa (لغوى) bukan syar’i (شرعي). Ini
berdalilkan kenyataan dari Imam Syafii sendiri sesungguhnya setiap
bid’ah dalam syara bertentangan dengan al Qur’an dan As-Sunnah. Imam
Syafie sendiri mengaitkan bid’ah yang baik dengan apa yang tidak
bertentangan dengan al Qur’an dan as-Sunnah karena setiap bid’ah
bertentang dengan firman Allah dan hadist Nabi sholallahu ‘alaihi
wasallam. Seperti firman-Nya
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
Artinya: Hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agamamu (Al Maidah: 3) dan juga sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami apa yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”[13] Lalu
yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh Imam Syafie sebagai bid’ah
hasanah/mahmudah (baik/terpuji), yaitu pembukuan mushaf mushaf Al
qur’an, kitab-kitab hadist dan shalat tarawih, ini amat tepat menurut
definisi bahasa karena walaupun ia tidak ada contoh sebelumnya tetapi
dia ada dasarnya dari syara yakni uncapan dari para sahabat Rasul
sholallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga pembinaan madrasah karena menuntut
ilmu itu wajib menurut syara. Jadi semua yang berkaitan dengan dunia
yang tidak memudharatkan adalah sesuatu yang baru lagi baik/terpuji
karena tidak bertentangan dengan syara.
Penjelasan tersebut diatas menunjukan
bahwa setiap bid’ah yang dikatakan terpuji sebenarnya bukanlah bid’ah,
karena ia tidak melibatkan urusan agama hanya di sangka bid’ah lantaran
kurang memahami istilah bid’ah menurut bahasa dan syara. Adapun bid’ah
yang dianggap sesat setelah didapati secara qath’I ialah yang
bertentangan dengan al Qur’an dan as sunnah dan juga tiada dalil syara
yang menyertainya.
d. Sebenarnya bagi ulama yang
mengetahui pendirian Iman Syafie rahimahullah yang tegas, beliau sangat
teliti dalam mengikuti Sunnah Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam dan
sangat membenci kepada muqallid (orang yang bertaqlid buta) dan orang
yang menolak hadist Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. Maka sepatutnyalah
seseorang itu tidak berprasangka terhadapnya sehingga kita dapati
pandangan beliau terhadap hadist sahih. Terutama hadist ” Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat”. Maka
dari itu yang paling tepat dan benar ialah bahwa ucapan Imam syafie ini
semestinya di letakkan di tempat yang sesuai dengan hadist tersebut
bukan dijadikan alasan untuk menentang hadist tersebut, karena apa yang
dimaksudkan Imam syafie ialah bid’ah dari segi bahasa (lughah) bukan dari segi syara’ atau dalam persoalan agama. Imam Syafie rahimahullah menegaskan:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى : اِذَا وَجَدْتُمْ فِى كِتَابِيْ خِلاَفَ سُنَّةَ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُوْلُوْا بِهَا وَدَعُوْا مَا قُلْتُه.ُ
“Apabila kamu temui di dalam Kitabku
apa yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka berkatalah
(ambil/peganglah} kamu dengan sunnah tersebut dan hendaklah kamu
tinggalkan apa yang telah aku katakan.”[14]
Jika ditinjau dari segi bahasa bahwa sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi “Kullu” ini bermakna bahwa setiap atau semua. Kata Kullu ini juga dapat dipahami “semua atau setiap” seperti dalam Firman Allah surah Al Imran ayat 185, yang berbunyi ” Kullu nafsin zaa iqotul maut yang artinya Setiap atau Semua yang bernyawa pasti akan mati. Kullu disini mencakup segala-galanya, maka kata “Kullu”secara sah dan secara nyata bahwa tidak ada benda yang benyawa yang tidak akan mati.
Jadi sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam “Kullu Bid’atin dhalalah”
sudah tentu mencakupi semua bid’ah pasti sesat tanpa harus adanya
bid’ah yang baik dalam hal syara’. Dengan demikian jelaslah bahwa semua
dalil yang ada bersifat umum dan mutlak meskipun banyak tetapi tidak ada
pengecualian sedikitpun dan sudah menjadi ketetapan ilmu ushul bahwa
setiap kaidah syar’i yang umum atau dalil syar’i yang umum bila
berulang-ulang di banyak tempat dan mempunyai pendukung-pendukung, serta
tidak ada pembatasan dan tidak ada pengkhususan, maka hal tersebut
menunjukkan tetap dalam keumumannya
Oleh karena itu tidak layak bagi ulama zaman sekarang untuk berlindung dibalik ungkapan “Ini adalah bid’ah hasanah”
bila di kaitkan dengan hal ibadah karena tidak ada jaminan dari Nabi
bahwa ulama sekarang adalah sebaik-sebaiknya generasi yang disebutkan
dalam sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam yang telah dijelaskan
sebelumnya. Jadi intinya perkataan seorang ulama boleh diterima atau di
tolak terkecuali Sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam yang
mengharuskan kita terima. Yang terpenting adalah bagaimana beramal yang
ikhlas dan sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan Allah dan
Rasul-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar