Zaman sekarang sebuah kemasan, merek, bahasa pesantrennya bentuk
dhahir, dianggap jauh lebih penting ketimbang sebuah isi. Perkembangan
zaman telah berhasil menanamkan kemasan menjadi sesutau yang penting,
mengabaikan kwalitas.
Dalam Ta'lim al-Muta'alim, buah pena Syeikh
Zarnuji yang menurut sebagian kalangan sudah tidak relevan, ada
penekakan untuk selalu memakai tutup kepala dalam setiap aktifitas.
Kemudian oleh pesantren hal itu tidak diterjemahkan dalam bentuk serban
atau tutup kepala lainnya, tetapi diwujudkan dalam bentuk kopiah.
Dalam
pandangan mereka, memakai kopiah merupakan bentuk kewiraian atau
kezuhudan seseorang, paling tidak sebagai bentuk kelaziman. Oleh
karenanya, seorang santri tidak diperbolehkan melepas peci dalam
kesehariannya. Santri yang berani menanggalkan kopiah diidentikkan
dengan santri badung yang sering melangar tatakrama dan aturan.
Tradisi
ini menjalar ke masyarakat, dengan berkopiah seseorang dianggap
memiliki nilai plus, kurang utama bila menanggalkan kopiah saat
menunaikan shalat, dan lain sebagainya, termasuk ketika sekarang banyak
orang mencari simpati untuk meraih suara. Namun ironis, akibat
penekanannya atas bentuk lahir, pemahaman akan tradisi pesantrenpun
menjadi keliru. Banyak masyarakat memakan mentah-mentah tradisi ini,
contoh kecil ketika mereka salah kaprah memakai kopiah dalam shalat,
terbukti masih banyak yang malah menutup bagian yang mestinya terbuka
waktu melakukan sujud, tidak sedikit yang keliru memakai kopiah.
Tutup
kepala yang terbuat dari beludru warna gelap dengan ketinggian antara
6-12 cm ini, ada yang mengatakan, bila dipandang dari segi bentuk
merupakan modifikasi antara torbus Turki dengan peci India. Ada pula
yang menyatakan bahwa kopiah memang asli kreasi nusantara. Penutup
kepala, entah apakah bentuknya sama seperti kopiah-kopiah Indonesia
sekarang, memang telah ada sejak dulu kala.
Yang jelas, menurut
sejarah pada awal pergerakan Nasional 1908-an, kebanyakan para aktivis
masih memakai daster dan tutup kepala blangkon, yang lebih dekat ke
tradisi priyayi dan aristokrat. Seiring meluasnya gerakan sama rata
sama rasa dan penolakan terhadap feodalisme -paham dan pola sikap yang
mengagung-agungkan pangkat dan jabatan tanpa mengagungkan prestasi
kerjanya- termasuk dalam berpakaian dan berbahasa, tokoh idola panutan
kaum pergerakan waktu itu, Tjokroaminoto yang sering berkopiah, dengan
sendirinya kopiah menjalar di kalangan aktifis, termasuk muridnya,
Soekarno.
Sejak saat itu kopiah yang semula merupakan tradisi
pesantren dijadikan sebagai songkok nasional, identitas ke Indonesiaan,
yang dipelopori kaum pergerakan. Ada yang bilang, berkat pesona
seorang Soekarno, para aktivis dan priyayi waktu itu mulai menggunakan
kopiah. Di samping menjadi simbol Islamisme, kopiah waktu itu juga
sebagai simbol patriotisme dan nasionalisme, yang mampu membedakan mana
priyayi pro rakyat dan priyayi kolaborator Belanda.
Pada
Muktamar NU ke 10 di Banjarmasin, saat Nahdlatul Ulama (NU) mulai
sangat aktif melibatkan diri untuk merespon perkembangan dunia luar,
baik nasional maupun internasional. NU mengakui Nasioalisme Hindia
Belanda dan mulai memperbolehkan warganya memakai pantaloon (celana
panjang), namun identitas kesantrian harus tetap terlihat. Salah satu
bentuknya adalah memakai kopiah, sehingga masih bisa dibedakan dengan
kolonial Belanda.
Namun kini, kopiah bukan hanya identifikasi
bagi seorang muslim, pembeda dengan penjajah, patriotisme, ataupun
simbol nasionalisme. Lihat saja upacara–upacara pelantikan pejabat
Negara, meskipun dia bukan seorang muslim, tidak sedikit yang memakai
penutup berbahan beludru ini. Sering pula kita saksikan, bahkan
kebanyakan, para perusak Negara memakai kopiah ketika tersudut di depan
meja hijau. Berubah fungsikah?
Permasalahan kopiah seperti di
atas mestinya ‘menghina’ kecerdasan kita sebagai muslim, khususnya
kalangan pesantren. Bagaimana mungkin cuma dengan modal kopiah, orang
sudah dipercaya ‘pindah agama’. Segampang itukah? Bagaimana bisa
ketaatan beragama hanya muncul sebagai penutup kepala, sebuah keputusan
yang perlu dipertanyakan.
Tapi, mari kita hargai keputusan ini,
sebab kita memang masyarakat yang gampang ditipu. Apalagi bila tipuan
itu memuat unsur-unsur yang kita suka, simbol dan atribut, kopiah
misalnya.
Begitu besar minat kita pada atribut, keindahan
kemasan, hingga mendorong orang dengan mudahnya merubah kepribadian.
Jika ia telah berdandan sedemikian rupa, merasa telah menjadi orang
bertakwa. Untuk menjadi seorang nasionalis, kita cukup hanya dengan
mengganti nama saja dan kalau mau jadi seniman, orang cukup bermodal
memanjangkan rambut dan mengacak-acak dandanan.
Begitulah, zaman
telah begini maju, tapi kita masih dengan mudahnya tertipu dengan
‘merek’. Bila kita tidak segera berbenah, jangan heran bila ke depan
makin banyak kita temui para penipu.
Untuk mewaspadai hal itu,
mulai sekarang kita harus menekan ambisi yang kelewatan atas sebuah
simbol dan atribut. Perlu juga ada semacan ‘penelaahan kembali’ oleh
setiap muslim. Bagi kalangan pesantren, tentu penelaahan tentang
perkopiahan juga perlu ada penekanan, karena ketika imej sebuah kopiah
telah tercoreng, secara tidak langsung pesantrenpun terkena imbasnya.
Dengan itu, semoga saja penipu-penipu handal sekarang adalah generasi
terakhir mereka. Semoga.
Entri Populer
-
Data bis, Nama perusahaan bis, Trayek / jurusan, Tarif , Jam berangkat, terminal bis di Indonesia March 18, 2012 BIS AIRPORT JAKARTA No. T...
-
Munculnya Ya’juj dan Majuj tanda dekatnya kiamat Dari Zaenab binti jahsi bahwa Rasululloh datang kepadanya dalam keadaan kaget dan ...
-
Kisah Layla & Majnun. Kisah Qais yang menjadi gila (majnun) karena kerinduannya pada Layla Alkisah, seorang kepala suku Bani U...
-
Data bis, Nama perusahaan bis, Trayek / jurusan, Tarif , Jam berangkat, terminal bis di Indonesia March 18, 2012 BIS AIRPORT JAKARTA No. T...
-
Recite! In the name of your Lord! [Qur'ân, Sûra 96:1] Islâm , , is the religion founded by the Prophet Muh.ammad. The word is som...
-
Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo didirikan pada tangg...
-
Labbaik... Allahumma labbaik... Innalhamda wa ni’mata Laka walmulk. Laa syarika Laka. UNDANGAN acara resmi biasanya mencantumkan jen...
-
Khulafa'ur Rasyidin di Madinah Abu Bakar (632 - 634) Umar bin Khattab (634 - 644) Utsman bin Affan (644 - 656) Ali bin Abi Tali...
-
Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH. Chudlori yaitu seorang ulama y...
-
Pekuburan Ma’la, Pekuburan yang lokasinya termasuk kampung Al hujun, kurang lebih 500 M sebelah utara Masjidil Haram, dulu jamaah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar