Entri Populer

Selasa, 06 Maret 2012

IMAM GHOZALI berguru


Siapa yang tidak tahu nama Imam Ghazali? Dialah ulama yang namanya begitu masyhur di dunia Islam yang bergelar hujjatul Islam. Dalam khazanah Islam, dia mencatatkan namanya sebagai salah satu tokoh yang banyak berjasa bagi kejayaan Islam.
Modal terpenting seseorang menuntut ilmu adalah ikhlas dan mengamalkan apa kata sang guru. Insya Allah, ilmu yang diperoleh akan berkah dan bermanfaat. Inilah yang dilakukan Al-Ghazali saat berguru kepada tukang sol sepatu.
Banyak karyanya yang menjadi rujukan umat Islam dunia. Karyanya itu meliputi berbagai bidang ilmu, seperti: fiqih, filsafat maupun tasawuf. Beberapa bukunya yang paling terkenal adalah Tahafutul al-Falasifah dan Ihya’ Ulumuddin.
Padahal, awalnya, Imam Ghazali hanyalah ulama biasa, yaitu imam masjid di kampungnya. Ia sangat rajin menjadi imam shalat berjamaah lima waktu bersama dengan masyarakat di sekitarnya. Tapi, anehnya, kakaknya sendiri yang bernama Ahmad, tidak pernah mau ikut berjamaah dengannya. Bahkan sang kakak bersikap acuh tak acuh kepadanya. Inilah yang membuat hati Imam Ghazali merasa jengkel kepada kakaknya. Sebab jamaah lain sepertinya tidak ada masalah dengan dirinya, tetapi justru kakaknya sendiri tidak mau berjamaah dengannya.
Ghazali geregetan. Ada apa sebenarnya dengan sang kakak atau ada sesuatu dalam diri Ghazali yang tidak berkenan padanya. Karena sikap sang kakak tetap acuh, akhirnya Ghazali memberanikan diri mengadukan kepada ibunya agar sang ibu mau menasehatinya.
Lantas sang ibu pun menasehati Ahmad, agar dia mau berjamaah di masjid bersama jamaah lainnya. Tidak enak jika menolak permintaan sang ibu, akhirnya dengan terpaksa, sang kakak mau berjamaah di masjid.

Berlumur Darah

Ghazali merasa bahagia. Ia tersenyum saat melihat sang kakak hendak turut shalat berjamaah. “Rupanya, nasehat ibu cukup manjur yah,” pikirnya.
Shalat jamaah dimulai, dan seperti biasa Ghazali menjadi imamnya. Namun di tengah shalat, tiba-tiba, kakaknya melihat ada sesuatu yang aneh. Dilihatnya baju yang dikenakan Ghazali penuh dengan lumuran darah. Karena itulah ia segera memisahkan diri (mufaraqah). Dia tidak mau shalat berjamaah bersama yang lain.
Mengetahui sikap kakaknya yang nyeleneh ini, hati Ghazali bingung bercampur jengkel. Dia tidak mengerti mengapa kakaknya betul-betul tidak mau shalat berjamaah dengannya. Dengan hati yang masih panas, Ghazali, akhirnya, memberanikan diri untuk menegurnya.
“Mengapa kakak begitu acuh terhadap kepemimpinanku menjadi imam shalat berjamaah?”
Tanpa diduga-duga, kakaknya malah melontarkan jawaban yang membuat Ghazali berpikir, “Bagaimana aku harus berjamaah dengan seorang imam yang berlumuran darah?”
Ghazali terdiam sejenak. Ia seolah dipukul telak oleh jawaban kakaknya. Bagaimana kakaknya bisa mengatakan seperti itu? Bagaimana ia bisa mengetahui masalah yang kini memang masih mengganjal di dalam hati Ghazali?
Ghazali terkejut bukan main. Ia menyadari bahwa dirinya memang kurang khusyuk dalam shalatnya karena memikirkan masalah yang ditanyakan seseorang kepadanya, yakni masalah darah wanita (menstruasi). Karena masalah tersebut belum ditemukan jawabannya, maka pikiran Ghazali menjadi kalut hingga mengakibatkan shalatnya tidak khusyuk.
Kini, disadari oleh Ghazali, ternyata kakaknya bukan orang sembarangan. Kakaknya seperti bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya. Maka dengan rasa hormat, dia pun bertanya, “Wahai kakak, darimana kakak memperoleh ilmu yang tinggi seperti ini?”
“Ketahuilah, wahai adikku, aku belajar dari seorang guru yang pekerjaannya sehari-hari menjadi tukang sol sepatu,” jawab sang kakak.
Ghazali penasaran dengan jawaban sang kakak. Tak ingin membuang waktu lagi, ia ingin segera berguru kepada orang yang diceritakan oleh kakaknya itu.
“Kalau begitu, tolonglah kiranya kakak sudi menunjukkan aku kepada guru tersebut,” pinta Imam Ghazali.
Sang kakak pun akhirnya berkenan mengantarkan Ghazali menemui orang yang dimaksud. Setelah dipertemukan, Imam Ghazali pun menyatakan keinginannya untuk menimba ilmu dari orang tersebut. Tapi waktu itu, sang guru --yang berprofesi sebagai tukang sol sepatu-- malah balik berkata kepada Imam Ghazali, “Pikirkanlah terlebih dulu. Jangan-jangan engkau nanti tidak akan mampu melaksanakan perintahku!”
“Insya Allah, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk selalu mengikuti apa pun yang guru kehendaki,” jawab Imam Ghazali serius.
“Sebelumnya maaf, hari ini kebetulan istri dan anak-anakku sedang tidak ikut di tempat kerjaku ini, sehingga halaman ini sangat kotor sekali. Karena itu, sebelum aku mengajarkan ilmu kepadamu, kalau engkau tidak keberatan, tolonglah kau bersihkan lebih dulu halaman tempat kerjaku ini agar enak dipandang mata,” demikian kata sang guru.
Secepat kilat, Imam Ghazali pun mencari sapu untuk melaksanakan perintah sang guru. Tapi setelah sekian lama mencari, dia tidak menemukan sesuatu alat yang bisa digunakan untuk membersihkan sampah-sampah yang berserakan di halaman tersebut. Ia mencari-cari cangkul juga tidak ada. Padahal sampah yang ada di halaman itu, bukan hanya dedaunan saja, tapi ada pula seonggok kotoran binatang.
Dengan sopan, Imam Ghazali lalu bertanya, “Apakah kiranya di sini ada sapu atau cangkul, wahai guru?”
“Maaf,” jawab guru itu, “karena tempat kerjaku ini sangat sempit, aku tidak pernah membawa alat-alat lain selain peralatan untuk memperbaiki sepatu.”

Menyingkirkan Kotoran dengan Tangan

Mendengar jawaban gurunya seperti itu, Imam Ghazali merenung sejenak. Dengan cara apa ia akan membersihkan sampah dan kotoran itu, sementara tidak ada satu alat pun yang bisa digunakan. Ia kemudian melihat kedua tangannya. Kali ini ia tersenyum sebagai tanda bahwa dirinya sudah menemukan jawabannya.
Tidak berapa lama kemudian, ia menyingsingkan lengan bajunya dan membersihkan sampah itu dengan tangan. Kendati bau kotoran tersebut sangat menyengat hidung, akhirnya, sedikit demi sedikit ia dapat menyingkirkan kotoran tersebut jauh-jauh dengan tangannya. Meskipun demikian, hati Imam Ghazali sangat gembira karena telah memenuhi keinginan gurunya.
Usai Imam Ghazali membersihkan halaman itu, dia kemudian mendekati gurunya. Dalam hatinya, sebentar lagi akan segera belajar kepada sang guru. Tapi anehnya, setelah menunggu cukup lama, sang guru malah menyuruhnya pulang.
“Nah, sekarang, pulanglah engkau!” perintah gurunya.
Imam Ghazali tak menyangka sama sekali. Dia menyangka hari itu akan mendapatkan bimbingan untuk mempelajari sesuatu, namun apa yang diperkirakan ini meleset. Karena itu, ia pun segera berpikir, mungkin saja hari itu sang guru sudah lelah karena bekeja seharian, sehingga beliau mengajarkan ilmu kepadanya akan diberikan pada kesempatan lain.
Dengan terpaksa, Imam Ghazali pun pulang tanpa memperoleh pelajaran sedikit pun dari sang guru. Akan tetapi, setelah sampai di rumah, Imam Ghazali merasakan bahwa dalam hatinya ada sebuah pergolakan, sehingga menimbulkan perubahan besar. Beliau merasakan adanya sesuatu yang aneh dalam dirinya, yaitu ada suatu ilmu yang biasanya sering disebut-sebut orang sebagai ilmu ladunni. Yaitu ilmu yang diberikan oleh Allah swt tanpa melalui belajar sebagaimana lazimnya.
Barangkali inilah berkah dari seorang guru yang mukhlish [ikhlas] dan diterima oleh seorang murid yang mukhlish pula, sehingga beliau pun kelak dikenal sebagai orang berilmu dan berpengetahuan sangat luas dan layak disebut sebagai hujjatul Islam.
Tentu, kita tidak tahu bagaimana caranya Allah menghujamkan ilmu-Nya kepada seseorang yang dicintai-Nya. Pengalaman Ghazali menyatakan bahwa modal terpenting seseorang menuntut ilmu adalah ikhlas dan mengamalkan apa kata sang guru. Insya Allah, ilmu yang diperoleh akan berkah dan bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar